Radèn Wijaya: Béda antara owahan

Saka Wikipédia Jawa, bauwarna mardika basa Jawa
Konten dihapus Konten ditambahkan
BeeyanBot (parembugan | pasumbang)
c →‎Masa Pamaréntahan: éjaan, replaced: Pemerintah → Pamaréntah using AWB
Top4Bot (parembugan | pasumbang)
éjaan using AWB
Larik 23: Larik 23:
Raden Wijaya dalam prasasti Balawi tahun [[1305]] menyatakan dirinya sebagai anggota [[Wangsa Rajasa]]. Menurut ''[[Nagarakretagama]]'', Wijaya adalah putra [[Dyah Lembu Tal]], putra [[Narasinghamurti]]. Menurut ''[[Pararaton]]'', Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra [[Mahisa Wonga Teleng]] putra [[Ken Arok]] pendiri Wangsa Rajasa. <ref name="SNI410">Poesponegoro & Notosusanto, hlm. 410.</ref>.
Raden Wijaya dalam prasasti Balawi tahun [[1305]] menyatakan dirinya sebagai anggota [[Wangsa Rajasa]]. Menurut ''[[Nagarakretagama]]'', Wijaya adalah putra [[Dyah Lembu Tal]], putra [[Narasinghamurti]]. Menurut ''[[Pararaton]]'', Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra [[Mahisa Wonga Teleng]] putra [[Ken Arok]] pendiri Wangsa Rajasa. <ref name="SNI410">Poesponegoro & Notosusanto, hlm. 410.</ref>.


Menurut prasasti Balawi dan ''Nagarakretagama'', Raden Wijaya menikah dengan empat orang putri [[Kertanagara]], raja terakhir [[Kerajaan Singhasari]], yaitu [[Tribhuwaneswari]], [[Narendraduhita]], [[Jayendradewi]], dan [[Gayatri]]. Sedangkan menurut ''Pararaton'', ia hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja, serta seorang putri dari [[Kerajaan Malayu]] bernama [[Dara Petak]], yaitu salah satu dari dua putri yang dibawa kembali dari [[Melayu]] oleh pasukan yang dulunya dikirim oleh Kertanagara yang dikenal dengan nama [[Ekspedisi Pamalayu]] pada masa kerajaan [[Singhasari]]. Dara Petak merupakan salah seorang putri [[Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa]] Raja Melayu dari [[Kerajaan Dharmasraya]] <ref name="Muljana">Slamet Muljana, 2005, ''Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Nagara-nagara Islam di Nusantara'', Yogyakarta: LKiS, ISBN 979-98451-16-3.</ref>.
Menurut prasasti Balawi dan ''Nagarakretagama'', Raden Wijaya punikah dengan empat orang putri [[Kertanagara]], raja terakhir [[Kerajaan Singhasari]], yaitu [[Tribhuwaneswari]], [[Narendraduhita]], [[Jayendradewi]], dan [[Gayatri]]. Sedangkan menurut ''Pararaton'', ia hanya punikahi dua orang putri Kertanagara saja, serta seorang putri dari [[Kerajaan Malayu]] bernama [[Dara Petak]], yaitu salah satu dari dua putri yang dibawa kembali dari [[Melayu]] oleh pasukan yang dulunya dikirim oleh Kertanagara yang dikenal dengan nama [[Ekspedisi Pamalayu]] pada masa kerajaan [[Singhasari]]. Dara Petak merupakan salah seorang putri [[Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa]] Raja Melayu dari [[Kerajaan Dharmasraya]] <ref name="Muljana">Slamet Muljana, 2005, ''Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Nagara-nagara Islam di Nusantara'', Yogyakarta: LKiS, ISBN 979-98451-16-3.</ref>.


Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama [[Jayanagara]].<ref name="SNI427">Poesponegoro & Notosusanto, hlm. 427.</ref>Sedangkan Jayanagara menurut ''Pararaton'' adalah putra Dara Petak, dan menurut ''Nagarakretagama'' adalah putra Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama [[Dyah Gitarja]] dan [[Dyah Wiyat]].
Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama [[Jayanagara]].<ref name="SNI427">Poesponegoro & Notosusanto, hlm. 427.</ref>Sedangkan Jayanagara menurut ''Pararaton'' adalah putra Dara Petak, dan menurut ''Nagarakretagama'' adalah putra Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama [[Dyah Gitarja]] dan [[Dyah Wiyat]].
Larik 34: Larik 34:
Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala désa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu [[Arya Wiraraja]] penguasa ''Songeneb'' (nama lama [[Sumenep]]).
Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala désa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu [[Arya Wiraraja]] penguasa ''Songeneb'' (nama lama [[Sumenep]]).


Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu [[Kerajaan Kadiri]] menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.
Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka laladan kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu [[Kerajaan Kadiri]] menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.


Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut ''Kidung Panji Wijayakrama'', salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, désa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama [[Majapahit]].
Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut ''Kidung Panji Wijayakrama'', salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, désa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama [[Majapahit]].
Larik 43: Larik 43:
Raden Wijaya memanfaatkan [[Invasi Yuan-Mongol ke Jawa|kedatangan pasukan Mongol]] ini untuk menghancurkan [[Jayakatwang]]. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu bahwa dirinya adalah ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.
Raden Wijaya memanfaatkan [[Invasi Yuan-Mongol ke Jawa|kedatangan pasukan Mongol]] ini untuk menghancurkan [[Jayakatwang]]. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu bahwa dirinya adalah ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.


Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang [[Daha]], ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam kapal Mongol.
Jayakatwang yang mendengar persekuthuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang [[Daha]], ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam kapal Mongol.


Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
Larik 52: Larik 52:
Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan. [[Nambi]] diangkat sebagai [[patih]] [[Majapahit]], [[Lembu Sora]] sebagai [[patih]] [[Daha]], [[Arya Wiraraja]] dan [[Ranggalawe]] sebagai pasangguhan. Pada tahun [[1294]] Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin désa Kudadu yang dulu melindunginya saat pelarian menuju [[Pulau Madura]].
Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan. [[Nambi]] diangkat sebagai [[patih]] [[Majapahit]], [[Lembu Sora]] sebagai [[patih]] [[Daha]], [[Arya Wiraraja]] dan [[Ranggalawe]] sebagai pasangguhan. Pada tahun [[1294]] Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin désa Kudadu yang dulu melindunginya saat pelarian menuju [[Pulau Madura]].


Pada tahun [[1295]] seorang tokoh licik bernama [[Mahapati]] menghasut Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama [[Lumajang]]).
Pada tahun [[1295]] seorang tokoh licik bernama [[Mahapati]] menghasut Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wewengkon kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wewengkon kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama [[Lumajang]]).


Pada tahun [[1300]] terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh [[Kebo Anabrang]], Sora merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.
Pada tahun [[1300]] terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh [[Kebo Anabrang]], Sora merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.
Larik 67: Larik 67:
* ''Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647''. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
* ''Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647''. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
* Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka
* Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka
* R.M. Mangkudimedja. 1979. ''Serat Pararaton Jilid 2''. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
* R.M. Mangkudimedja. 1979. ''Serat Pararaton Jilid 2''. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Laladan
* [[Slamet Muljana]]. 2005. ''Menuju Puncak Kemegahan'' (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
* [[Slamet Muljana]]. 2005. ''Menuju Puncak Kemegahan'' (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
* Slamet Muljana. 1979. ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara
* Slamet Muljana. 1979. ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara

Révisi kala 8 Maret 2016 15.47

Reca Harihara, déwa gabungan Siwa lan Wisnu minangka panggambaran Kertarajasa. Lokasi wiwitané ing Candhi Simping, Blitar, saiki dadi kolèksi Museum Nasional Républik Indonésia.

Radèn Wijaya (lair: ? - séda: Majapahit, 1309) iku sing ngadegaké Karajan Majapahit sekaligus raja pisanan sing mrintah ing taun 1293-1309, mawa gelar Prabu Kertarajasa Jayawardana. Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertajasa Jayawardhana. Miturut Nagarakretagama, Raden Wijaya séda taun 1309 lan disarèkaké ing Antahpura lan didadèkaké candhi ing Simping minangka Harihara, utawa nyawijiné antara Wisnu lan Siwa. Radèn Wijaya digantèkaké déning Jayanagara minangka raja sabanjuré.

Asma Asli

Radèn Wijaya iku asma sing lumrah dianggo déning para sejarawan kanggo nyebut pangadeg Krajan Majapait. Asma iki ana jroning Pararaton kang tinulis watara pungkasan abad ka-15. Kadhangkala Pararaton uga nulis sacara pepak, ya iku Raden Harsawijaya. Kamangka miturut bukti-bukti prasasti, ing mangsa kauripan Wijaya (abad ka-13 utawa 14) gelar raden durung populèr.

Nagarakretagama kang tinulis ing mangsa tengahan abad ka-14 nyebut pangadeg Majapait ajeneng Dyah Wijaya. Sesebutan dyah arupa sesebutan kabangsawanan sing populèr wektu semana lan dadi cikal bakal sesebutan Radèn. Istilah Radèn dhéwé dikira-kira asal saka tembung Ra Dyah utawa Ra Dyan utawa Ra Hadyan.

Jeneng asli pangadeg Majapait sing paling pas ya iku Nararya Sanggramawijaya, amarga jeneng iki ana ing prasasti Kudadu sing diwetokaké déning Wijaya dhéwé ing taun 1294. Sesebutan Nararya uga minangka sesebutan kabangsawanan, senadyan sesebutan Dyah luwih kerep dianggo.

Asal-Usul

Miturut Pararaton, Radèn Wijaya iku putra Mahisa Campaka, pangéran saka Krajan Singhasari. Panjenengané gedhé ing lingkungan Krajan Singhasari.

Miturut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Radèn Wijaya iku putra pasangan Rakyan Jayadarma lan Dyah Lembu Tal. Ramané ya iku putra Prabu Guru Darmasiksa, raja Krajan Sundha Galuh, déné ibuné ya iku putri Mahisa Campaka saka Krajan Singhasari. Kanthi mangkono, Radèn Wijaya minangka campuran getih Sundha lan Jawa. Sawisé Rakyan Jayadarma tiwas diracun mungsuhé, Lembu Tal bali menyang Singhasari nggawa Wijaya. Sejatiné, Radèn Wijaya dadi raja ka-27 Krajan Sundha Galuh. Suwaliké panjenengané ngadegaké Majapait sawisé tiwasé raja Kertanagara, raja Singhasari pungkasan, sing uga sedulur ibuné.

Crita ing dhuwur mèmper karo carita ing Babad Tanah Jawi sing nyebut pangadeg Krajan Majapait ya iku Jaka Sesuruh putra Prabu Sri Pamekas raja Krajan Pajajaran, sing uga dumunung ing kawasan Sundha. Jaka Sesuruh mlayu mangétan amarga dikalahaké déning sedulur kuwaloné sing jenengé Siyung Wanara. Panjenengané banjur mbangun Krajan Majapait lan banjur numpes Siyung Wanara.

Crita kasebut béda karo Nagarakretagama sing nyebut Dyah Lembu Tal iku wong lanang, putra Narasinghamurti. Naskah iki muji Lembu Tal minangka prawira yuda sing gagah lan bapa saka Dyah Wijaya.

Deleng uga

Kapustakan

  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Laladan
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Didhisiki déning:
-
Raja Majapait
1293–1309
Diganti déning:
Jayanagara