Naraguna:Bennylin/Transliterasi Aksara Jawa
Cithakan:Esai Oleh: MoU/pakmuh
Indonesia
[besut | besut sumber]Pada umumnya orang Jawa cenderung menulis sesuai bunyi dari kosa kata Jawa yang ia dengar. Maka ia akan menuliskan bunyi itu dengan abjad Latin mana yang sesuai dengan pendengaran. Padahal sebanarnya ada perbedaan karakter yang mendasar antara abjad latin dengan aksara Jawa. Abjad Latin bersifat alfabetik, yaitu memerlukan huruf vokal sebagai pembantu bunyi. Sementara itu aksara Jawa bersifat silabik, alias tak melulu membutuhkan bantuan aksara vokal. Contoh sederhana, aksara ꦲ ꦤ ꦕ ꦫ ꦏ dan seterusnya mampu berbunyi walaupun masing –masing hanya berdiri sendiri.
Pada prakteknya, orang bisa menulis ꦲ ꦤ ꦕ ꦫ ꦏ dengan "ho no co ro ko", karena berpedoman pada bunyinya. Menurut abjad Latin, bunyi /ɔ/ tersebut hanya mampu terwakili oleh huruf "o", sebagai huruf vokal. Padahal semestinya, bunyi tersebut merupakan elemen inheren dari masing-masing aksara, tanpa bantuan vokal apa pun. Kesalahan yang umum misalnya penulisan kata ꦏꦤ꧀ꦕ ('teman') dalam bahasa Jawa sebagai "konco", bukan sebagaimana mestinya yaitu "kanca". Pada penulisan aksara Jawa, kata "ꦏꦤ꧀ꦕ" ditulis tanpa bantuan vokal apa pun. Sedangkan apabila yang tertulis adalah "konco", maka logikanya adalah kata tersebut ditulis dengan bantuan vokal taling dan tarung (ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦕꦺꦴ).
Misal silang sengkarut lain adalah penulisan vokal "i" dalam bahasa Jawa. Berdasarkan bunyi yang terekam, orang sering menulis kata ꦱꦶꦁ ('yang') dengan "seng", padahal seharusnya "sing". Contoh lain adalah kata ꦮꦶꦱ꧀ ('sudah') yang sering ditulis dengan "wes", padahal seharusnya "wis". Semestinya, kedua kata tersebut ditulis dalam aksara Jawa dengan menggunakan bantuan vokal wulu. Apabila kedua kata tersebut ditulis dengan ꦱꦺꦁ "seng" atau ꦮꦺꦱ꧀ "wes", maka akan terdapat kesalahan dalam konversi balik ke aksara Jawa, yaitu penggunaan bantuan vokal taling.
Kesalahan-kesalahan di atas berlaku dalam masyarakat dengan tanpa disadari. Sifat bahasa komunikasi memang tak mengharuskan adanya aturan-aturan ketat dalam soal transliterasi. Pola penulisan berdasar bunyi ini memang telah menjadi fenomena yang jamak ditemui. Apalagi ketika pihak yang bukan si empunya bahasa ikut mengambil peran. Nama-nama resmi daerah di Jawa ditulis menurut aturan pusat yang ditetapkan di Jakarta. Nama kota 'Purworejo', misalnya, bukan sebagaimana seharusnya sesuai aturan transliterasi yaitu ꦥꦸꦂꦮꦫꦺꦗ ("Purwareja"). Orang Jawa sendiri menyebut ibu kota karesidenan Surakarta dengan bunyi /solo/ (ꦱꦺꦴꦭꦺꦴ) bukan /sɔlɔ/ (ꦱꦭ) sebagaimana mestinya. Ini disebabkan penulisan nama kota ini secara nasional sebagai 'Solo', bukan sebagai 'Sala'. Ada sebagian pihak yang merasa si empunya bahasa Jawa bertindak untuk menyikapi hal ini. Harian Suara Merdeka misalnya, saat ini selalu menuliskan nama kota bengawan ini sebagai Sala, bukan lagi sebagai 'Solo'.
Aksara Jawa sendiri bukan berarti tak problematis. Dalam bunyi vokal contohnya, sebuah aksara Jawa yang berdiri sendiri bisa menjadi ambigu karena mengandung vokal /a/ dan /ɔ/. Sebuah taling bisa bermakna rancu karena mengandung bunyi /ɛ/ (seperti dalam kata "bèbèk") atau /e/ (seperti dalam kata "lélé"). Dan sebuah taling tarung bisa membingungkan karena mengandung bunyi /o/ atau /ɔ/.
Namun problematika ini bukan diabaikan begitu saja oleh pihak-pihak yang mempunyai kepedulian terhadap bahasa Jawa. Sejauh ini, Kongres Bahasa Jawa telah dilaksanakan selama empat kali semenjak tahun 1991, dua kali di Semarang, dan masing-masing sekali di Yogyakarta dan Malang. Dan pembicaraan yang diagendakan salah satunya tentu saja adalah persoalan transliterasi.
Memang sebuah persoalan yang perlu dibahas matang. Beberapa kalangan malah memiliki perbedaan metode transliterasi tersebut. Beberapa media berbahasa Jawa dalam sajiannya tidak memberikan spesifikasi pada bunyi taling dengan menggunakan è dan é. Beberapa penerbitan malah lebih kreatif dalam menyikapi kemungkinan bunyi ganda pada vokal a Jawa. Mereka menggunakan huruf a biasa untuk bunyi /ɔ/, sementara untuk bunyi a biasa mereka menggunakan huruf a dengan garis bawah (a).
Sementara itu, dalam aspek aplikatif, menggunakan cara penulisan dengan transliterasi yang semestinya justru kadang melahirkan masalah. Orang-orang yang terbiasa menulis berdasarkan bunyi akhirnya malah membaca tulisan ini dengan salah. Yang terdengar justru adalah bunyi berdasarkan logika pembacaan huruf Latin, bukan logika pembacaan aksara Jawa.
Bahasa Jawa dalam bentuknya sebagai bahasa tulis belum benar-benar menjadi bagian dari peri kehidupan masyarakat Jawa. Soal aksara Jawa yang tak lagi dipahami secara luas memang perkara lumrah. Tetapi aturan transliterasi aksara Jawa ke Latin yang tidak dipahami sebagian besar masyarakat Jawa memang cukup mengherankan.
Kesalahan-kesalahan penulisan seringkali berbuntut pada kesalahan pembacaan dan makna. Yang terjadi adalah perbedaan logika pada si penulis dan pembaca. Apabila diamati, penulisan huruf konsonan juga menjadi penyebab utama ambiguitas. Orang kadang belum paham perbedaan antara konsonan "t" dan "th", atau antara "d" dan "dh" dalam bahasa Jawa tulis.
Sejauh ini, pelajaran bahasa Jawa diajarkan di jenjang sekolah baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Yogyakarta. Tentunya materi pelajaran ini memuat penulisan dengan menggunakan metode transliterasi. Dalam dunia jurnalistik, media-media baik yang memang total menggunakan bahasa Jawa atau hanya menyertakan rubrik bahasa Jawa secara berkala pun banyak bertebaran. Dari Jawa Tengah ke Jawa Timur kita menemukan majalah Mekarsari, Jaka Lodhang, hingga Panjebar Semangat. Harian Suara Merdeka serta Kedaulatan Rakyat juga memiliki sajian khusus berbahasa Jawa, dengan transliterasi pastinya.
Nah, jika persoalan transliterasi bahasa Jawa masih minim dipahami, atau bahkan tak dikenal oleh masyarakatnya sendiri, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa media pengajaran bahasa Jawa baik secara akademis maupun jurnalistik tidak benar-benar mendapat tempat di mata orang Jawa. Seperti di mana-mana tempat di seluruh dunia ini, orang cenderung malas mengikuti pelajaran bahasa sendiri. Pun demikian di tanah Jawa, pelajaran bahasa Jawa sekedar merupakan pelengkap, sementara pelajar tak begitu mementingkan pelajaran ini. Media berbahasa Jawa juga demikian, seolah menjadi museum barang antik saja.
Sebenarnya, perkara transliterasi ini tdak perlu diperdebatkan jika bahasa tulis hanya menargetkan pemahaman bahasa. Yang penting paham, tanpa perlu mengikuti aturan yang ketat, demikian kira-kira maksud utama dari bahasa tulis sederhana tanpa transliterasi. Namun apabila orang Jawa sendiri sadar betapa ranah tulis bahasa Jawa adalah sangat penting, maka tetek-bengek konversi dan transliterasi ini menjadi penting pula. Saat ini bahasa Jawa mampu menjadi pilihan media komunkasi dan ekspresi. Bahasa Jawa yang tertulis dengan abjad Latin dapat ditemui di mana-mana, dalam format macam-macam. Media cetak dan elektronik, buku-buku, mengangkat tulisan dalam bahasa Jawa. Bentuk tulisan ini bermacam-macam, mulai dari berita, opini, cerita cekak, geguritan, tembang dan lain-lain.
Ironis sekali jika terjadi kasus seorang Jawa tidak baham mekanisme baca tulis bahasa Jawa dengan abjad Latin, padahal ada seorang dari negara lain misalnya, mampu memahaminya dengan semestinya. Kasus yang semisal dengan kenyataan bahwa ada seorang Jawa yang lebih mengerti aturan baca dan tulis bahasa Arab dibanding seorang pribumi Arab.
Pada saat seorang mulai melirik media-media di atas sebagai alternatif, kemampuan menulis dengan aturan transliterasi mutlak diperlukan. Tulisan yang hendak disajikan, mesti melalui proses penyuntingan yang seksama, oleh editor yang tak sembarangan pula.
Di luar mekanisme ini, seiring kemajuan teknologi, orang mulai tampil sendiri melalui media independen yang bahkan tanpa harus disunting oleh orang lain. Sudah semestinya sang penulis juga mampu mengaplikasikan aturan-aturan penyuntingan standar terhadap tulisan karya sendiri.
Dengan kemampuan ini, orang Jawa akan paham mana di antara dua kalimat di bawah ini yang tertulis dengan benar menurut logika konversi aksara Jawa. Pertama; "konco-konco seng wes podo mangan, ayo to ndang mlebuo! Ojo podo tetek neng kene." Kedua; "kanca-kanca sing wis padha mangan, ayo ta ndang mlebua! Aja padha thèthèk ning kéné."