Beksan Tumbu Tanah

Saka Wikipédia Jawa, bauwarna mardika basa Jawa
Beksan Tumbu Tanah uga diarani beksan ula (Assa & Hapsari 2015, kc. 31).
Beksan Tumbu Tanah masarakat Arfak ing Omah Sikil Sèwu (Assa & Hapsari 2015, kc. 31).

Beksan Tumbu Tanah utawa Dansa Tumbu Tana ya iku salah sawijining beksan tradhisional wong Arfak kang ana ing Kabupatèn Manokwari, Propinsi Papua Kulon.[1][2][3][4][5][6][7][8][9][10][11][12][13][14][15][16][17][18][19][20][21][22][23]

Uga delengen[besut | besut sumber]

Rujukan[besut | besut sumber]

  1. Hujairin, dkk (2017), kc. 58: "Masyarakat Arfak terdiri dari empat suku besar, yaitu Suku Hattam yang mendiami Distrik Oransbari dan Distrik Ransiki, Suku Meyakh yang menghuni Distrik Warmare dan Distrik Prafi, Suku Sough yang mendiami Distrik Anggi, dan Suku Moile yang mendiami Distrik Minyambouw (...)"
  2. Hastanti & Yeny 2009, kc. 23: "(...) Mereka memiliki seni tari dan lagu yang sama yaitu Tumbu Tanah".
  3. Kondologit & Sawaki 2016, kc. 96: "(...) Misalnya orang Hattam menyebutnya dengan nama Isim, sedangkan orang Meyakh menyebutnya Mugka dan orang Sough menyebutnya Manyohora. Sehingga untuk mempermudah penyebutan tarian ini maka masyarakat Arfak menggunakan bahasa Indonesia dengan menyebutnya tarian Tumbu Tanah, juga agar dapat dimengerti oleh masyarakat lain".
  4. Hernawan (2002), kc. 2: "Papua dewasa ini tidaklah sama dengan Papua saat para perintis gereja-gereja, seperti Otto dan Geissler, memasuki tanah Papua pada 5 Februari 1855 (...)"
  5. Indonesia Kaya (2019-01-01). "Menelusuri Sejarah Peradaban Papua di Pulau Mansinam". Indonesia Kaya (Eksplorasi Budaya di Zamrud Khatulistiwa). Dibukak ing 2019-04-04.
  6. Hapsari (2016), kc. 153: "Manokwari dikenal sebagai kota bersejarah dalam penyebaran agama Kristen di Tanah Papua, karena tanggal 5 Februari 1855 dua orang misionaris berkebangsaan Jerman, yaitu Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler mendarat di Pulau Masinam dan memulai penyebaran Injil (...)"
  7. Ariefana, Pebriansyah (2016-02-05). "Masyarakat Peringati 161 Tahun Injil Masuk Papua". Suara.com. Dibukak ing 2019-05-04.
  8. Assa & Hapsari 2015, kc. 35: "Tidak dapat disangkal bahwa akibat kontak dengan budaya lainnya, terutama dengan mereka yang senantiasa menggunakan bahasa Indonesia sangat mempengaruhi masyarakat Arfak untuk dapat menggunakan bahasa Indonesia, khususnya dialek Melayu Timur. Masyarakat Arfak menggunakan bahasa Indonesia untuk mempermudah menyebut tari Tumbu Tanah. Di sisi lain, penyebutan tersebut digunakan agar tarian ini dikenal oleh masyarakat lain".
  9. Kondologit & Sawaki 2016, kc. 41-42: "Tentang asal-usul atau cerita rakyat yang menjadi acuan untuk menelusuri asal-usul, keturunan, dan persebaran orang Arfak, serta tari Tumbu Tanah, beberapa mite dan legenda telah dituturkan dari generasi ke generasi. Cerita rakyat utama yang menjadi acuan tidak terlepas dari mitologi Legenda Jambu Mandjatan di Kampung Ndui, yang mengisahkan tentang tersebarnya orang Arfak setelah konflik penguasaan buah jambu (...)"
  10. Koentjaraningrat, dkk (1994), kc. 145: " Di antara keempat suku bangsa tersebut pada awalnya memiliki hubungan kekeluargaan yang erat antara satu dengan yang lainnya (...)"
  11. Kondologit & Sawaki 2016, kc. 43: "Dalam kisah ini selanjutnya mengatakan bahwa terdapat dua kelompok besar yang sangat sentral pada masyarakat Arfak. Kelompok besar pertama yang bergerak menuju daerah Anggi menurunkan masyarakat berbahasa Sough yang memiliki banyak nama keluarga atau klen. Sedangkan kelompok besar satunya pergi ke timur laut (Minyambouw) menurunkan masyarakat berbahasa Hattam. Kedua kelompok tetap hidup bersama saat ini dan menempati wilayahnya masing-masing (...)"
  12. Kondologit & Sawaki 2016, kc. 97-98: "Setelah berpisah sekian lama, ada keinginan untuk dapat hidup secara bersama-sama lagi, maka diadakanlah pesta makan oleh suku Hattam dan mengundang beberapa suku lain yang tersebar di wilayah-wilayah lainnya (...)"
  13. Kondologit & Sawaki 2016, kc. 98-99: "Pada waktu itu juga selain melompat diiringi oleh suara teriakan sebagai ungkapan perasaan bahagia atau senang, kemudian di dalam kebahagiaan tersebut salah seorang dari mereka mulai melantunkan syair-syair terima kasih kepada tuan rumah yang telah menyiapkan makanan (...)"
  14. Papua Untuk Semua (2015-06-07). "Dansa Tumbu Tana, Tarian dari Suku Arfak yang Kian Terkenal". Papua.us. Dibukak ing 2019-04-05.
  15. Sobat Budaya (2020-05-18). "Tari Tumbu Tanah". Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. Dibukak ing 2020-05-31.
  16. Mampioper, Dominggus (2015-05-08). "Dansa Tumbu Tana dari Arfak, Papua Barat". Tabloid Jubi. Dibukak ing 2019-04-05.
  17. Greeners (2015-07-03). "Burung Namdur Polos, Si Arsitek Bersayap". Greeners. Dibukak ing 2019-04-22.
  18. Lulu M. (2019-02-02). "Tarian Papua Barat". Budaya Lokal. Dibukak ing 2019-04-05.
  19. Bestari, Fardi (2018-04-12). "Melihat Alat Musik Tradisional Pikon dari Wamena Papua". Tempo Media Group. Dibukak ing 2019-04-22.
  20. Shaumi, Farah (2015-02-10). "Pikon". Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. Dibukak ing 2019-04-22.
  21. Kusuma, David (2018-11-30). "Tas Noken, Mahakarya Mama Papua yang Telah Mendunia". Tribun Manado. Dibukak ing 2019-04-22.
  22. Kumparan (2018-01-11). "Mengenal Noken: Tas Buatan Mama dari Bumi Cendrawasih". Kumparan. Dibukak ing 2019-04-22.
  23. Abi, Faiz (2019-02-02). "Noken Papua yang Berasal dari Raja Ampat dan Wamena Ternyata Berbeda". Phinemo. Diarsip saka sing asli ing 2022-10-27. Dibukak ing 2019-04-22.

Kapustakan[besut | besut sumber]

Buku

  • Kondologit, Enrico Yory; Sawaki, Andi Thompson (2016). Tarian Tumbu Tanah (Tari Tradisional Masyarakat Arfak di Kabupaten Arfak, Provinsi Papua Barat). Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua dan Amara Books. ISBN 978-602-6525-10-9.{{cite book}}: CS1 maint: ref duplicates default (link)
  • Frank, Simon Abdi K. (2012). Arsitektur Tradisional Suku Arfak di Manokwari. Jayapura: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura, Papua Kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Studi Kawasan Perdesaan, Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. ISBN 978-602-7980-01-3.{{cite book}}: CS1 maint: ref duplicates default (link)
  • Koentjaraningrat, dkk (1994). Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Penerbit Djambatan. ISBN 978-979-4281-70-3.
  • Assa, Veibe Ribka; Hapsari, Windy (2015). Peranan Perempuan Hattam dalam Beberapa Aspek. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua dan Kepel Press. ISBN 978-602-3560-62-2.{{cite book}}: CS1 maint: ref duplicates default (link)

Jurnal

Esai

Pranala jaba[besut | besut sumber]